SEMUANYA TENTANG ZELLA
(Cerpen Nadhifa Salsabila)
Suara koper dengan roda empat itu terdengar
nyaring saat menyentuh lantai marmer berwarna marun, pemilik koper itu
mendorong mulus kopernya memasuki sebuah rumah minimalis namun memancarkan
kesan elegan.
“Ini Zella…mulai hari ini dia akan tinggal di
sini,” tutur seorang wanita paruh baya yang mengumumkan kedatangan Zella di hadapan
keluarga kecilnya, yang tidak lain merupakan bibinya Zella.
“Zella, ini Tania,” tambah wanita itu
sembari berjalan ke arah anak sulungnya.
Setelah perkenalan singkat terebut, Zella
memasuki kamar barunya yang terletak di lantai dua rumah itu. Mata Zella
berkeliling mengamati kamar kecil itu. Semenjak orang tuanya telah tiada, dunia
Zella gelap seakan-akan cahaya seketika redup dalam hidupnya. Tidak ada lagi
rasa aman, nyaman, dan terlindungi yang ia rasakan. Zella mengusap wajahnya
pelan lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur berseprai merah muda di sana. Ia
menatap langit-langit kamarnya yang gelap dan perlahan mulai terlelap.
***
Entah sudah keberapa kalinya Zella melirik
arloji di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 16.00 WIB, ia masih
setia menunggu Tania yang berada di ruang OSIS sembari membaca buku di bangku
koridor, di samping ruang OSIS.
“Rapat OSIS masih satu jam lagi,” ucap
seorang laki-laki menyuguhkan sebotol air mineral pada Zella, Zella mendongak
mendapati Alendra-teman sekelasnya
berdiri tepat di hadapannya.
“Terimakasih,” tutur Zella menerima
sebotol air mineral tersebut.
Alendra mengangguk singkat lalu duduk di
samping Zella.
“Kamu… sepupunya Tania ‘kan?” tanya Alendra
membuka obrolan setelah keheningan beberapa saat.
“Iya,” jawab Zella singkat yang masih
canggung.
Alendra merasakan atmosfer kecanggungan di
sekitar mereka, setelah menarik napas singkat lalu menghembuskannya Alendra
mulai menanyakan lagi pertanyaan-pertanyaan kecil pada Zella, bahkan sesekali
mereka tertawa bersama. Dalam waktu singkat mereka mulai menjadi teman dekat.
Si friendly Alendra memang tidak pernah kalah, dalam menambah daftar satu nama
teman dekat baru lagi dalam bukunya.
***
Seusai sekolah, Zella dan kelompok
belajarnya sedang mendiskusikan materi-materi akuntansi yang diberikan oleh
pembimbing mereka, di ruang khusus yang disediakan sekolah untuk mereka.
Ting
Sebuah notif singkat masuk di layar ponsel
Zella, di dalam ransel putih miliknya.
Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang
menyadari akan notif tersebut.
Kringg….
Kembali terdengar nada dering dari ponsel
yang sama, Zella menoleh, mengalihkan pandangannya dari buku-buku di hadapannya
ke arah ranselnya yang berjarak beberapa kursi dari dirinya, ia menoleh menatap
keempat temannya itu secara bergantian yang fokus mereka juga teralihkan akibat
nada dering itu.
“Angkat saja,” ucap Gamin mewakili.
Zella mengangguk, lalu bangkit dari
kursinya dan segera mengambil ponsel yang terus berdering dari dalam ranselnya,
ia berjalan beberapa langkah ke arah jendela di sana, ia membuka layar
ponselnya dan mendapati nama ‘Tania’ muncul di sana. Kemudian segera mengangkat
panggilan tersebut.
“Zel, kalo sudah selesai belajarnya
cepet ke lapangan deket rumah,” pinta Tania antusias.
“Kamu sudah pulang sekolah?” tebak Zella
mendengar suara skateboard tak jauh dari Tania.
“Eskul baletnya selesai lebih awal 30 menit,
cepet datang jangan lama-lama!”
“Zel di sini berisik, nanti kita bicara lagi aku tutup dulu,” ucap
Tania setengah berteriak untuk menandingi suara ricuhnya skateboard.
Tit….
Panggilan terputus, Zella menatap jam di
layar ponselnya sebelum mematikannya.
“Temen-temen aku pulang dulu ya, sudah sore,”
pamit Zella pada anggota kelompok belajarnya yang masih fokus berkutat dengan
buku dan pena mereka.
Setelah mendapat persetujuan dari mereka,
Zella segera meraih ranselnya dan melangkah pergi dari ruangan itu.
***
Zella diam, tak bergeming menatap lapangan di
hadapannya itu kosong, tidak ada seorang pun di sana, kemudian ia mengambil
ponselnya dari balik jas sekolahnya, mencari nama Tania di aplikasi berwarna
hijau tersebut. Tidak butuh waktu lama ia segera menekan tombol panggilan yang
terletak di bagian kanan pojok atas.
“Kamu dimana?” tanya Tania cepat setelah
sambungan telepon terhubung.
Zella mengerutkan keningnya atas pertanyaan
dari Tania yang seharusnya justru ia tanyakan.
“Aku sudah di lapangan,” ungkap Zella ragu
setelah diam sejenak.
Terdengar suara helaan nafas Tania dari
ujung telepon.
“Sudahlah kita bertemu di rumah saja.”
finish Tania yang segera mematikan panggilan teleponnya secara sepihak untuk
yang kedua kalinya, bahkan Zella yang sudah membuka mulutnya pun tidak sempat
mengeluarkan sepatah kata pun.
Rrrkkk...
Zella menunduk, melihat benda apa yang
menyentuh kakinya pelan.
“Maaf,” ucap seorang laki-laki yang berlari
kecil ke arah Zella, lalu segera mengambil benda berbentuk papan lonjong dengan
ujung melengkung itu.
“Aku… baru memulai belajar skateboard,
belum terlalu bisa.” tutur laki-laki itu tersenyum kecil sembari menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh ya, aku Lian,” laki-laki itu
memperkenalkan diri.
“Zella.” balas Zella kecil.
“Mau mencoba?” tawar Lian melirik
skateboard yang dipegangnya, setelah berpikir sejenak akhirnya Zella mengangguk
menyetujui.
***
Hari demi hari sirih berganti dengan cepat,
begitu pula dengan kedekatan antara Zella dan Alendra di sekolah dan dengan
Lian di luar sekolah. Selain anggota kelompok belajarnya dan Tania, kedua laki-laki
tersebut adalah teman dekatnya Zella.
Tania berjalan perlahan memasuki ruang
kelompok belajar, seperti yang ia harapkan Zella ada di sana, sedang fokus
membolak-balik halaman pada buku cetak tebal di hadapannya.
“Zel, 10 menit lagi aku tampil,”
ucap Tania yang berada beberapa langkah dari tempat Zella.
Zella menoleh mendapati Tania dengan
seragam baletnya yang lengkap.
“Sebentar lagi aku ke sana.”
“Zel, gue gugup.”
“Semangat!!, kamu pasti bisa.” ucap Zella
menyemangati, mencoba menghilangkan rasa gugup Tania.
“Kamu juga semangat cerdas cermatnya, bantai
habis tim lain jangan kasih kesempatan.” balas Tania antusias.
Hari ini SMA Yusung mengadakan pentas seni
sebagai akhir perjalanan dari semester satu. Sebagian siswa ikut berpartisipasi
dalam lomba tersebut, dan sebagian yang lain menjadi panitia dalam memastikan
acara tersebut berlangsung tanpa kendala.
Setelah membereskan buku-bukunya di atas
meja, Zella segera bergegas ke luar ruangan mengejar waktu agar ia bisa duduk
di kursi penonton sebelum Tania tampil, tetapi saat ia berada tepat di depan pintu
itu, ia menemukan sebuah tali yang terbuat dari kain berwarna peach di sana,
Zella menyadari tali tersebut merupakan salah satu aksesoris dari sanggul
rambut milik Tania. Terdengar suara MC yang sudah memanggil nama Tania untuk
tampil di atas panggung, Zella bergegas, menuju aula sebelum Tania benar-benar
tampil.
Zella terengah-engah, mengatur nafasnya
yang masih belum stabil, sekarang ia sudah berada di samping panggung utama
tetapi ia terlambat, Tania sudah tampil dengan sorot lampu putih yang hanya
meneranginya, ruangan itu gelap semua mata hanya berfokus pada penampilan
Tania.
Zella berbalik ingin menuju tempat duduk
penonton, tetapi ia segera berhenti, telinganya menangkap suara yang risih
didengarnya, ia cepat berbalik menoleh ke arah asal sumber suara. Mata Zella
menangkap sebuah lampu gantung kristal berukuran besar berada tepat di atas
kepala Tania, chandelier itu terus bergoyang pelan, terlihat
penyangganya sudah setengah rapuh. Tanpa berlama-lama lagi Zella mulai berlari
ke arah Tania ingin mengeluarkannya dari panggung itu dari chandelier
yang sepersekian detik itu akan segera runtuh dalam sekejap.
***
Zella membua matanya perlahan, bau khas
obat segera menyergap hidungnya di kala itu, matanya berkeliling menjelajahi
ruangan yang sepi itu. Hanya bunyi ‘bip’ dari monitor yang terdengar.
Ceklekk….
Pintu ruangan itu terbuka, seseorang masuk ke
sana.
“Sudah Sadar?” tanya Haruna, satu-satunya
teman perempuan Zella dari kelompok belajar yang terkenal dengan sifat cuek dan
tak berperasaannya.
Tidak lama setelah itu terlihat sosok Gamin
yang juga ikut memasuki ruangan itu dengan sekantong plastik putih di tangannya.
“Kenapa aku bisa di sini?” tanya
Zella kecil pada kedua temannya itu.
“Gak perlu diinget lagi, kamu udah gak
sadar selama tiga hari,” oceh Gamin.
“Aku bawain bubur instan, makan dulu.”
lanjut Gamin sembari mengambil termos di atas nakas.
Saat hendak menuang air panas ke dalam mangkok
bubur, tanpa sengaja Gamin menumpahkan air panas tersebut ke kaki Zella, Gamin
yang menyadari hal itu segera panik dan pergi mengambil handuk kecil juga
sebaskom air dingin. Zella diam termengu menatap kakinya yang sudah memerah.
Setelah Gamin kembali ia segera mengompres kaki Zella, dan mengoles tipis salep
antinyeri. Zella menoleh ke samping, menatap Haruna yang hanya berdiri dalam
diam dengan mata yang terkunci pada kaki Zella.
“Aku baik-baik saja,” tutur Zella tak ingin
membuat Haruna khawatir.
“Gak ngerasain sakit apapun kan?”
tanya Haruna menatap mata Zella.
“Kata dokter kamu lumpuh sementara, akibat
otot kaki kamu yang kaget.”
Zella menelan salivanya kasar, sementara
Gamin reflek menghentikan aktivitasnya.
“Gak perlu panik, kan hanya
sementara.” tutur Haruna santai menatap Zella dan Gamin secara bergantian.
***
Sudah kesekian kalinya Haruna menekan
tombol panggilan di layar ponsel Zella. Tentu saja atas kehendak si pemilik
ponsel, tetapi yang terdengar hanyalah suara operator dari seberang telepon.
“Panggilannya gak diangkat bukan gak
aktif,” ucap Haruna frustasi.
“Coba sekali lagi, terakhir,” pinta
Zella memelas.
“Ini yang terakhir,” tekan Haruna pada
kalimatnya, lalu segera memulai panggilan telepon kembali, tidak lama kemudian
akhirnya panggilan tersebut tersambung.
“Lian….” Panggil Zella cepat.
“Maaf
Zel aku gak punya waktu, aku lagi jagain Tania sekarang,” ucap
Lian lalu segera mengakhiri panggilan tersebut.
“Siapa?” tanya Haruna.
“Orang yang ngajarin aku main
skateboard sekaligus tetangga samping rumah.”
“Yaudah, sekarang kamu istirahat dulu,
nanti aku coba telepon Alendra dia pasti punya waktu buat kamu,” seru Haruna
lembut.
***
Setelah beristirahat cukup panjang Zella
kembali membuka matanya, langit biru di luar sudah berubah menjadi gelap. Zella
melihat Haruna yang keluar dari ruangan.
“Ale…,” panggil Haruna ketika
melihat Alendra berjalan melewati koridor rumah sakit.
“Zella di dalam, kamu pasti mau jenguk dia ‘kan?”
harap Haruna.
“Na, aku sekarang lagi jagain Tania yang
masih sakit.” potong Alendra cepat.
“Kalian teman dekat,” ucap Haruna
mengingatkan.
“Na…aku gak serius kok untuk deket
sama dia, itu karena Zella sepupu Tania aja,” finish Alendra tegas lalu
segera melangkah memasuki lift.
Zella mengalihkan pandangannya dari pintu
menuju jendela, perlahan air matanya mulai turun membasahi pipinya. Ia tidak
pernah menyimpan rasa benci terhadap Tania, tapi kenapa semuanya harus
tentang Tania. Pikiran Zella kembali melayang pada kejadian beberapa bulan
silam.
***
Zella mengusap matanya pelan, rasa kantuk
kian menghampirinya, ia bangkit dari meja belajarnya ingin membuat secangkir coklat
panas untuk menemaninya belajar.
“Sepertinya sudah saatnya kita berhenti
merawat Zella, merawat seorang anak gadis lagi tidaklah mudah dengan biayanya
yang besar.”
Langkah Zella terhenti di depan kamar paman
dan bibinya mendengar namanya disebut.
“Kita gak akan rugi, dia biasanya
yang membersihkan rumah, mengajari kayla belajar, dan membantu Tania.” sela bibi
Aira tak setuju.
“Kita gak bisa terus-terusan
memanfaatkan anak itu,” protes Paman Ken.
“Bukan memanfaatkan, tapi seperti itulah
yang harus ia lakukan kepada keluarga kita.”
Zella mundur beberapa langkah, berbalik
lalu kembali ke kamarnya.
***
“Inget, hanya 10 menit,” ucap Haruna yang
mendorong kursi roda Zella menuju taman rumah sakit.
“Gak ada bonus tambahan, ini sudah
akhir tahun loh.”
“Zella…aku gak lagi jualan, jadi gak
ada yang namanya tawar-menawar.” tolak Haruna.
Zella terkekeh pelan atas pertahanan Haruna
yang benar-benar tidak bisa diubah pemikirannya, dia memang benar-benar
ber-MBTI-T. Zella menghirup udara segar kala sore itu dan mengamati taman rumah
sakit yang tidak terlalu ramai itu.
“Zel, hari ini kita tunda dulu ya cari
anginnya, aku lupa ada janji sama anak-anak study group,” ucap Haruna
sembari memutar balik kursi roda Zella cepat.
Zella memegang tangan Haruna di pegangan
kursi rodanya, kemudian mendongak ke belakang untuk menatapnya.
“Gak perlu bohong, aku udah lihat
mereka,” sela Zella melirik ke arah Tania, Alendra, Lian, dan kedua
paman-bibinya yang sedang bersenang-senang.
“Na....” panggil Zella serak.
“Zel, kamu jangan….“
“Memang dari awal, semuanya gak pernah
tentang aku kan?” finish Zella sendu, lalu pergi mendorong kursi rodanya
sendiri.
Haruna ingin mengejar, tetapi ia segera
mengurungkan niatnya. Ia tahu untuk sekarang Zella perlu waktu sendiri.
“Semuanya tentang kamu Zel…jika bersama
orang yang tepat,” lirih Haruna setelah membaca notif yang bertengger di
layar ponselnya.
Sukajadi,
20 April 2025