Daftar Blog Saya

Kamis, 04 Desember 2025

Teman Seperjalanan

Arie Png Adadua

 

sebelum ini aku telah menemani

kemana pun engkau langkahkan kaki

kala berdiam diri pun aku tameng dirimu sejati

 

jauh sebelum ini banyak tenaga dan waktu

kamu kerahkan segenap kemampuan tiada terperi

untuk dapatkan diriku lebih dari istri

yang hakiki sampai tiada lagi ruang dan waktu

 

hari ini, kutinggalkan engkau seorang

sudah sampai pada batas kita

pertanggungjawabkan untuk semua kebersamaan kita

teruslah kembara aku harus pulang

menjadi warismu di dunia

 

Sekayu, 08-04-2022
Dimuat dalam Antologi Raja Kelana
Dari Negeri Poci ke-12

 

KELABU

Qanita Nabil Dina


Di ketinggian bak mercusuar, di bawah naungan langit nan gelap. Dia berdiri di perbatasan antara hening jiwa dan riuh kota. Dia suka memandang ribuan lilin kota yang menyalakan panggung malam yang megah. Dari ketinggian itulah dia dapat menemukan kedamaian yang asing namun begitu akrab.


​Dia menyalakan bara api kecil, membiarkan asapnya berbaur dengan angin malam. Setiap tarikannya menciptakan jejak uap yang hilang ditelan pekatnya langit. Dia terhanyut dalam dialognya bersama bara api kecil itu. Asapnya mengepul perlahan, mengukir kata demi kata dalam malam. Namun, sebuah tangan dingin merampas cahaya dari jemarinya. Sunyi seketika pecah oleh kejutan. Pemilik tangan dingin itu menginjak bara api kecil yang baru saja dirampasnya hingga tak tersisa. Pemilik tangan dingin itu menatapnya dalam. Bukan dengan marah, melainkan duka.


​"Bukankah sudah saya peringatkan, Nona Moza?" tanya pemilik tangan dingin itu kepadanya yang masih membeku di tempatnya. Lalu pemilik tangan dingin itu melanjutkan ucapannya, "Kamu adalah bunga yang tak selayaknya layu oleh asap, sebuah mahakarya yang tak pantas diselimuti oleh kabut. Biarkan napasmu murni, bukan dicuri oleh kesenangan yang hanya sesaat."


​Belum sempat Moza mengeluarkan suara, pemilik tangan dingin itu kembali berucap, "Asap itu hanya kabut penipu, dia tidak akan pernah mampu memadamkan api kelelahan yang membakar jiwamu. Burnout itu, adalah jeritan hati, bukan dahaga nikotin. Kamu harus menghadapinya dengan istirahat, bukan dengan kesenangan sesaat."


​Tidak ada sepatah kata pun yang ke luar dari mulut Moza. Dia diam membeku, tidak ada protes yang tersampaikan.


​"Abang tahu penyakit itu bukan hanya sekedar rasa sakit, dia juga pencuri warna, dia merampas merah dari semangatmu dan biru dari langit harapan. Sehingga, menjadikan hari-harimu seperti kanvas yang hanya dibasahi kelabu. Itu yang kamu rasakan bukan? Tak tentu arah dan semuanya serba salah," ucap sang kakak berusaha meringankan beratnya atmosfer yang tercipta di antara keduanya.


​"Moza bingung dan tidak menemukan cara untuk mengatasinya. Isi kepala Moza sangat berisik. Hal itu membuat Moza terisik. Jadi, Moza memilih opsi itu untuk mencari ketenangan," ucap Moza yang akhirnya buka suara.


​Sang kakak lalu memegang kedua pundak adiknya dengan pandangan yang mencoba meyakinkannya. Kemudian dia berkata, "Cara mengusir kabut kelabu itu bukanlah dengan api yang menyesatkan. Yang kamu butuhkan bukan jeda yang beracun. Melainkan sunyi yang menyembuhkan. Pahamilah, mana yang harus kamu genggam erat dan mana yang harus kamu biarkan pergi. Dan ingatlah, kamu tidak sendiri."


​Moza langsung menghambur ke dalam pelukan sang kakak. Seraya berkata, "Terima kasih atas segala kekhawatiran ini. Moza janji: akan berusaha untuk sembuh."


Referensi :

Alodokter. 2024. Ciri-ciri Burnout dan Cara Mengatasinya. https://www.alodokter.com. Diakses 18 September 2025.

Universitas Esa Unggul. 2025. Burnout pada Mahasiswa: Tanda Bahaya yang Sering Terabaikan. https://www.esaunggul.ac.id. Diakses 18 September 2025.

Senin, 01 Desember 2025

TERTUJU PADAMU

Hanifah Nur Azizah


Mentari pagi di Palembang terasa lebih terik dari biasanya, mungkin karena hatiku sedang membara. ”Tertuju Padamu,” bisikku lirih, menatap layar ponsel yang menampilkan fotomu. Kamu seorang siswa SMA kelas 12 di SMA Plus Negeri 17 Palembang, dengan   senyum menawan dan mata yang selalu membuat penasaran. Aku, seorang siswi semester pertama di Aqu-lu el-Muqoffa, merasa seperti remaja yang baru mengenal cinta, tapi… ini memang sedikit berbeda dari kisah cinta yang pernah aku alami sebelumnya.

Anehnya, kita tidak pernah benar-benar berkomunikasi. Hanya aku yang mengagumimu dalam kedamaian, mencari tahu tentangmu melalui akun Instagram pribadimu dan teman-temanmu. Mungkin ini terdengar seperti obsesi, tapi saat ini aku belum bisa mengendalikan hatiku sendiri.

Teman-temanku telah menjadi saksi bisu dari kegilaanku ini. Mereka rata-rata lajang, dan entah kenapa, mereka justru mendukungku untuk terus maju. “Mengejar seseorang yang kita cintai itu memang hak kita sendiri, jadi semangat ya… kalo dapat jangan lupa traktis, tapi kalo gak dapat ikut senyum ya…,” ucap salah satu temanku.

Suatu malam aku dan dua temanku, Nabil dan Aisha sedang bermain chelens, siapa yang kalah maka telepon salah satu pengikut di Instagram. Saat di posisiku yang kalah, mereka semua setuju agar aku menelpon dia, ”Zahfran”, asli deg-degan banget. Aku berharap tidak diangkat, tapi tak kusangka malah diangkatnya, namun dengan cepat aku langsung memutuskan sambungan telepon. Aisha dan Nabil merasa aku berbuat tidak adil pada mereka, sehingga pada chelens kedua aku disuruh untuk mengirim pesan kepada Zahfran, bunyinya : "Semoga mimpi indah".

Keesokan harinya, aku membuka Instagram dengan sedikit gugup dan rasa takut yang bercampur dengan sebuah harapan. Tidak ada balasan. Kecewa? Tentu saja. Aku merasa balon yang ditiup tinggi-tinggi, lalu tiba-tiba meletus.

Aku menceritakan semuanya kepada temanku saat mereka bertanya, ”Bagaimana hasilnya Zah?”

Setelah aku  selesai bercerita Alsha bilang, ”Ihhh sabar ya… nanti kita main lagi.” Nabil juga tertawa. Dalam hatiku, ”Dasar teman laknat, lihat saja, akan aku balas Alsha sama Khoiri dan Nabil sama Anka.

Sampai saat ini aku masih menantinya walaupun tidak ada kepastian, aku masih gila di sana, aku senang dengan dia yang pintar dalam segala hal. Teman-temanku hanya menenangkan kepala saat aku salah tingkah di dekatnya dan galau juga karenanya, Aku suka alur cintaku yang sekarang. Untuk menemukan jawaban : Siapa wanita yang selalu dia maksud dalam storynya.

Nanti, kutunggu Zahfran tamat dari sekolahnya.

SEMUANYA TENTANG ZELLA

(Cerpen Nadhifa Salsabila)

 

Suara koper dengan roda empat itu terdengar nyaring saat menyentuh lantai marmer berwarna marun, pemilik koper itu mendorong mulus kopernya memasuki sebuah rumah minimalis namun memancarkan kesan elegan.

“Ini Zella…mulai hari ini dia akan tinggal di sini,” tutur seorang wanita paruh baya yang mengumumkan kedatangan Zella di hadapan keluarga kecilnya, yang tidak lain merupakan bibinya Zella.

“Zella, ini Tania,” tambah wanita itu sembari berjalan ke arah anak sulungnya.

Setelah perkenalan singkat terebut, Zella memasuki kamar barunya yang terletak di lantai dua rumah itu. Mata Zella berkeliling mengamati kamar kecil itu. Semenjak orang tuanya telah tiada, dunia Zella gelap seakan-akan cahaya seketika redup dalam hidupnya. Tidak ada lagi rasa aman, nyaman, dan terlindungi yang ia rasakan. Zella mengusap wajahnya pelan lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur berseprai merah muda di sana. Ia menatap langit-langit kamarnya yang gelap dan perlahan mulai terlelap.

***

 Entah sudah keberapa kalinya Zella melirik arloji di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 16.00 WIB, ia masih setia menunggu Tania yang berada di ruang OSIS sembari membaca buku di bangku koridor, di samping ruang OSIS.

“Rapat OSIS masih satu jam lagi,” ucap seorang laki-laki menyuguhkan sebotol air mineral pada Zella, Zella mendongak mendapati Alendra-teman sekelasnya  berdiri tepat di hadapannya.

“Terimakasih,” tutur Zella menerima sebotol air mineral tersebut.

Alendra mengangguk singkat lalu duduk di samping Zella.

“Kamu… sepupunya Tania ‘kan?” tanya Alendra membuka obrolan setelah keheningan beberapa saat.

“Iya,” jawab Zella singkat yang masih canggung.

Alendra merasakan atmosfer kecanggungan di sekitar mereka, setelah menarik napas singkat lalu menghembuskannya Alendra mulai menanyakan lagi pertanyaan-pertanyaan kecil pada Zella, bahkan sesekali mereka tertawa bersama. Dalam waktu singkat mereka mulai menjadi teman dekat. Si friendly Alendra memang tidak pernah kalah, dalam menambah daftar satu nama teman dekat baru lagi dalam bukunya.

***

 Seusai sekolah, Zella dan kelompok belajarnya sedang mendiskusikan materi-materi akuntansi yang diberikan oleh pembimbing mereka, di ruang khusus yang disediakan sekolah untuk mereka.

Ting

Sebuah notif singkat masuk di layar ponsel Zella, di dalam ransel putih miliknya.

Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari akan notif tersebut.

Kringg….

Kembali terdengar nada dering dari ponsel yang sama, Zella menoleh, mengalihkan pandangannya dari buku-buku di hadapannya ke arah ranselnya yang berjarak beberapa kursi dari dirinya, ia menoleh menatap keempat temannya itu secara bergantian yang fokus mereka juga teralihkan akibat nada dering itu.

“Angkat saja,” ucap Gamin mewakili.

Zella mengangguk, lalu bangkit dari kursinya dan segera mengambil ponsel yang terus berdering dari dalam ranselnya, ia berjalan beberapa langkah ke arah jendela di sana, ia membuka layar ponselnya dan mendapati nama ‘Tania’ muncul di sana. Kemudian segera mengangkat panggilan tersebut.

“Zel, kalo sudah selesai belajarnya cepet ke lapangan deket rumah,” pinta Tania antusias.

“Kamu sudah pulang sekolah?” tebak Zella mendengar suara skateboard tak jauh dari Tania.

“Eskul baletnya selesai lebih awal 30 menit, cepet datang jangan lama-lama!”

“Zel di sini berisik, nanti  kita bicara lagi aku tutup dulu,” ucap Tania setengah berteriak untuk menandingi suara ricuhnya skateboard.

Tit….

Panggilan terputus, Zella menatap jam di layar ponselnya sebelum mematikannya.

“Temen-temen aku pulang dulu ya, sudah sore,” pamit Zella pada anggota kelompok belajarnya yang masih fokus berkutat dengan buku dan pena mereka.

Setelah mendapat persetujuan dari mereka, Zella segera meraih ranselnya dan melangkah pergi dari ruangan itu.

***

 Zella diam, tak bergeming menatap lapangan di hadapannya itu kosong, tidak ada seorang pun di sana, kemudian ia mengambil ponselnya dari balik jas sekolahnya, mencari nama Tania di aplikasi berwarna hijau tersebut. Tidak butuh waktu lama ia segera menekan tombol panggilan yang terletak di bagian kanan pojok atas.

“Kamu dimana?” tanya Tania cepat setelah sambungan telepon terhubung.

Zella mengerutkan keningnya atas pertanyaan dari Tania yang seharusnya justru ia tanyakan.

“Aku sudah di lapangan,” ungkap Zella ragu setelah diam sejenak.

Terdengar suara helaan nafas Tania dari ujung telepon.

“Sudahlah kita bertemu di rumah saja.” finish Tania yang segera mematikan panggilan teleponnya secara sepihak untuk yang kedua kalinya, bahkan Zella yang sudah membuka mulutnya pun tidak sempat mengeluarkan sepatah kata pun.

Rrrkkk...

Zella menunduk, melihat benda apa yang menyentuh kakinya pelan.

“Maaf,” ucap seorang laki-laki yang berlari kecil ke arah Zella, lalu segera mengambil benda berbentuk papan lonjong dengan ujung melengkung itu.

“Aku… baru memulai belajar skateboard, belum terlalu bisa.” tutur laki-laki itu tersenyum kecil sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Oh ya, aku Lian,” laki-laki itu memperkenalkan diri.

“Zella.” balas Zella kecil.

“Mau mencoba?” tawar Lian melirik skateboard yang dipegangnya, setelah berpikir sejenak akhirnya Zella mengangguk menyetujui.

***

 Hari demi hari sirih berganti dengan cepat, begitu pula dengan kedekatan antara Zella dan Alendra di sekolah dan dengan Lian di luar sekolah. Selain anggota kelompok belajarnya dan Tania, kedua laki-laki tersebut adalah teman dekatnya Zella.

Tania berjalan perlahan memasuki ruang kelompok belajar, seperti yang ia harapkan Zella ada di sana, sedang fokus membolak-balik halaman pada buku cetak tebal di hadapannya.

“Zel, 10 menit lagi aku tampil,” ucap Tania yang berada beberapa langkah dari tempat Zella.

Zella menoleh mendapati Tania dengan seragam baletnya yang lengkap.

“Sebentar lagi aku ke sana.

“Zel, gue gugup.”

“Semangat!!, kamu pasti bisa.” ucap Zella menyemangati, mencoba menghilangkan rasa gugup Tania.

“Kamu juga semangat cerdas cermatnya, bantai habis tim lain jangan kasih kesempatan.” balas Tania antusias.

Hari ini SMA Yusung mengadakan pentas seni sebagai akhir perjalanan dari semester satu. Sebagian siswa ikut berpartisipasi dalam lomba tersebut, dan sebagian yang lain menjadi panitia dalam memastikan acara tersebut berlangsung tanpa kendala.

Setelah membereskan buku-bukunya di atas meja, Zella segera bergegas ke luar ruangan mengejar waktu agar ia bisa duduk di kursi penonton sebelum Tania tampil, tetapi saat ia berada tepat di depan pintu itu, ia menemukan sebuah tali yang terbuat dari kain berwarna peach di sana, Zella menyadari tali tersebut merupakan salah satu aksesoris dari sanggul rambut milik Tania. Terdengar suara MC yang sudah memanggil nama Tania untuk tampil di atas panggung, Zella bergegas, menuju aula sebelum Tania benar-benar tampil.

Zella terengah-engah, mengatur nafasnya yang masih belum stabil, sekarang ia sudah berada di samping panggung utama tetapi ia terlambat, Tania sudah tampil dengan sorot lampu putih yang hanya meneranginya, ruangan itu gelap semua mata hanya berfokus pada penampilan Tania.

Zella berbalik ingin menuju tempat duduk penonton, tetapi ia segera berhenti, telinganya menangkap suara yang risih didengarnya, ia cepat berbalik menoleh ke arah asal sumber suara. Mata Zella menangkap sebuah lampu gantung kristal berukuran besar berada tepat di atas kepala Tania, chandelier itu terus bergoyang pelan, terlihat penyangganya sudah setengah rapuh. Tanpa berlama-lama lagi Zella mulai berlari ke arah Tania ingin mengeluarkannya dari panggung itu dari chandelier yang sepersekian detik itu akan segera runtuh dalam sekejap.

***

 Zella membua matanya perlahan, bau khas obat segera menyergap hidungnya di kala itu, matanya berkeliling menjelajahi ruangan yang sepi itu. Hanya bunyi ‘bip’ dari monitor yang terdengar.

Ceklekk….

Pintu ruangan itu terbuka, seseorang masuk ke sana.

“Sudah Sadar?” tanya Haruna, satu-satunya teman perempuan Zella dari kelompok belajar yang terkenal dengan sifat cuek dan tak berperasaannya.

Tidak lama setelah itu terlihat sosok Gamin yang juga ikut memasuki ruangan itu dengan sekantong plastik putih di tangannya.

Kenapa aku bisa di sini?” tanya Zella kecil pada kedua temannya itu.

Gak perlu diinget lagi, kamu udah gak sadar selama tiga hari,” oceh Gamin.  

“Aku bawain bubur instan, makan dulu.” lanjut Gamin sembari mengambil termos di atas nakas.

Saat hendak menuang air panas ke dalam mangkok bubur, tanpa sengaja Gamin menumpahkan air panas tersebut ke kaki Zella, Gamin yang menyadari hal itu segera panik dan pergi mengambil handuk kecil juga sebaskom air dingin. Zella diam termengu menatap kakinya yang sudah memerah. Setelah Gamin kembali ia segera mengompres kaki Zella, dan mengoles tipis salep antinyeri. Zella menoleh ke samping, menatap Haruna yang hanya berdiri dalam diam dengan mata yang terkunci pada kaki Zella.

“Aku baik-baik saja,” tutur Zella tak ingin membuat Haruna khawatir.

Gak ngerasain sakit apapun kan?” tanya Haruna menatap mata Zella.

“Kata dokter kamu lumpuh sementara, akibat otot kaki kamu yang kaget.”

Zella menelan salivanya kasar, sementara Gamin reflek menghentikan aktivitasnya.

Gak perlu panik, kan hanya sementara.” tutur Haruna santai menatap Zella dan Gamin secara bergantian.

***

 Sudah kesekian kalinya Haruna menekan tombol panggilan di layar ponsel Zella. Tentu saja atas kehendak si pemilik ponsel, tetapi yang terdengar hanyalah suara operator dari seberang telepon.

“Panggilannya gak diangkat bukan gak aktif,” ucap Haruna frustasi.

“Coba sekali lagi, terakhir,” pinta Zella memelas.

“Ini yang terakhir,” tekan Haruna pada kalimatnya, lalu segera memulai panggilan telepon kembali, tidak lama kemudian akhirnya panggilan tersebut tersambung.

“Lian….” Panggil Zella cepat.

“Maaf  Zel aku gak punya waktu, aku lagi jagain Tania sekarang,” ucap Lian lalu segera mengakhiri panggilan tersebut.

“Siapa?” tanya Haruna.

“Orang yang ngajarin aku main skateboard sekaligus tetangga samping rumah.”

“Yaudah, sekarang kamu istirahat dulu, nanti aku coba telepon Alendra dia pasti punya waktu buat kamu,” seru Haruna lembut.

***

 

Setelah beristirahat cukup panjang Zella kembali membuka matanya, langit biru di luar sudah berubah menjadi gelap. Zella melihat Haruna yang keluar dari ruangan.

“Ale…,” panggil Haruna ketika melihat Alendra berjalan melewati koridor rumah sakit.

“Zella di dalam, kamu pasti mau jenguk dia ‘kan?” harap Haruna.

“Na, aku sekarang lagi jagain Tania yang masih sakit.” potong Alendra cepat.

“Kalian teman dekat,” ucap Haruna mengingatkan.

“Na…aku gak serius kok untuk deket sama dia, itu karena Zella sepupu Tania aja,” finish Alendra tegas lalu segera melangkah memasuki lift.

Zella mengalihkan pandangannya dari pintu menuju jendela, perlahan air matanya mulai turun membasahi pipinya. Ia tidak pernah menyimpan rasa benci terhadap Tania, tapi kenapa semuanya harus tentang Tania. Pikiran Zella kembali melayang pada kejadian beberapa bulan silam.

***

Zella mengusap matanya pelan, rasa kantuk kian menghampirinya, ia bangkit dari meja belajarnya ingin membuat secangkir coklat panas untuk menemaninya belajar.

“Sepertinya sudah saatnya kita berhenti merawat Zella, merawat seorang anak gadis lagi tidaklah mudah dengan biayanya yang besar.

Langkah Zella terhenti di depan kamar paman dan bibinya mendengar namanya disebut.

“Kita gak akan rugi, dia biasanya yang membersihkan rumah, mengajari kayla belajar, dan membantu Tania.” sela bibi Aira tak setuju.

“Kita gak bisa terus-terusan memanfaatkan anak itu,” protes Paman Ken.

“Bukan memanfaatkan, tapi seperti itulah yang harus ia lakukan kepada keluarga kita.”

Zella mundur beberapa langkah, berbalik lalu kembali ke kamarnya.

***

 “Inget, hanya 10 menit,” ucap Haruna yang mendorong kursi roda Zella menuju taman rumah sakit.

Gak ada bonus tambahan, ini sudah akhir tahun loh.”

“Zella…aku gak lagi jualan, jadi gak ada yang namanya tawar-menawar.” tolak Haruna.

Zella terkekeh pelan atas pertahanan Haruna yang benar-benar tidak bisa diubah pemikirannya, dia memang benar-benar ber-MBTI-T. Zella menghirup udara segar kala sore itu dan mengamati taman rumah sakit yang tidak terlalu ramai itu.

“Zel, hari ini kita tunda dulu ya cari anginnya, aku lupa ada janji sama anak-anak study group,” ucap Haruna sembari memutar balik kursi roda Zella cepat.

Zella memegang tangan Haruna di pegangan kursi rodanya, kemudian mendongak ke belakang untuk menatapnya.

Gak perlu bohong, aku udah lihat mereka,” sela Zella melirik ke arah Tania, Alendra, Lian, dan kedua paman-bibinya yang sedang bersenang-senang.

“Na....” panggil Zella serak.

“Zel, kamu jangan….“

“Memang dari awal, semuanya gak pernah tentang aku kan?” finish Zella sendu, lalu pergi mendorong kursi rodanya sendiri.

Haruna ingin mengejar, tetapi ia segera mengurungkan niatnya. Ia tahu untuk sekarang Zella perlu waktu sendiri.

“Semuanya tentang kamu Zel…jika bersama orang yang tepat,” lirih Haruna setelah membaca notif yang bertengger di layar ponselnya.

 

Sukajadi, 20 April 2025